Dalam satu dekade terakhir, istilah smart city menjadi simbol kemajuan modern. Kota-kota di dunia berlomba memanfaatkan teknologi digital untuk mengatur transportasi, energi, dan pelayanan publik. Namun, di balik cahaya layar dan efisiensi sistem, bumi justru menghadapi tekanan baru. Data dari United Nations Environment Programme (UNEP) tahun 2024 menunjukkan bahwa sektor digital menyumbang sekitar 4% dari total emisi karbon global. Ironisnya, semakin pintar teknologi yang dibangun, semakin besar pula jejak ekologis yang dihasilkan.
Kondisi ini memunculkan pertanyaan penting: apakah manusia yang hidup di kota pintar juga benar-benar cerdas dalam mengelola bumi? Konsep smart city seharusnya tidak hanya bicara efisiensi, tetapi juga tanggung jawab ekologis. Di sinilah lembaga seperti Dinas Lingkungan Hidup (DLH) berperan penting untuk memastikan kemajuan teknologi tidak menjadi ancaman bagi keberlanjutan.
Apa Itu Smart City dan Tujuan Awalnya

Smart city pada dasarnya adalah sistem perkotaan yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk mengelola sumber daya secara efisien dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Namun, tujuan akhirnya bukan hanya kenyamanan, melainkan keseimbangan antara inovasi dan kelestarian lingkungan.
Kota pintar adalah sistem yang menggabungkan data real-time untuk mengatur lalu lintas, distribusi air, dan energi secara efisien. Teknologi seperti Internet of Things (IoT), kecerdasan buatan (AI), dan analitik data menjadi tulang punggungnya. Namun, tanpa kesadaran ekologis, semua inovasi ini hanya mempercepat konsumsi energi dan meningkatkan jejak karbon.
Contoh Implementasi Smart City di Indonesia
Beberapa kota besar di Indonesia telah menerapkan konsep smart city. Jakarta memiliki Jakarta Smart City untuk memantau lalu lintas dan pelayanan publik. Bandung dengan Command Center-nya menampilkan transparansi data pemerintahan, sementara Surabaya unggul dalam pengelolaan sampah digital. Agar keberlanjutan tetap terjaga, Dinas Lingkungan Hidup Ponorogo daerah ikut mengawasi kebijakan lingkungan dan memastikan setiap proyek berlandaskan prinsip ramah bumi.
Smart People — Faktor yang Sering Terlupakan
Kota yang canggih tidak akan berarti tanpa warganya yang cerdas. Smart people bukan hanya pengguna teknologi, tetapi juga pelaku perubahan menuju gaya hidup berkelanjutan.
1. Kecerdasan Sosial dan Ekologis
Menjadi manusia pintar berarti memahami dampak dari setiap tindakan terhadap lingkungan. Tanpa kesadaran ini, smart city hanya akan menjadi kota konsumtif yang boros energi. DLH sering menekankan bahwa perilaku masyarakat memegang peran kunci dalam menjaga keseimbangan ekosistem perkotaan.
2. Literasi Lingkungan di Era Digital
Di era digital, banyak orang paham cara menggunakan aplikasi transportasi, tapi jarang yang menghitung emisi karbon dari kendaraan yang digunakan. Literasi lingkungan menjadi aspek penting dalam pembangunan kota pintar. Program edukasi yang digagas oleh Dinas Lingkungan Hidup seperti kampanye green habit dan bank sampah digital membantu meningkatkan kesadaran ekologis masyarakat.
Teknologi Canggih, Tapi Apakah Ramah Lingkungan?
Kemajuan teknologi memang mengagumkan, tapi apakah benar-benar bersahabat dengan bumi?
1. Energi, Data Center, dan Jejak Karbon
Setiap data yang tersimpan di dunia digital memerlukan server dan listrik. International Energy Agency (IEA) mencatat, pada 2023, pusat data global mengonsumsi 2% dari total listrik dunia. Prediksi menunjukkan angka ini bisa meningkat hingga 8% pada 2030. Tanpa kebijakan pengawasan energi yang ketat dari DLH, hal ini bisa mempercepat krisis energi di masa depan.
2. Inovasi Hijau yang Mulai Tumbuh
Meski begitu, tanda-tanda perubahan mulai terlihat. Beberapa perusahaan mulai beralih ke green data center dengan pendinginan alami dan sumber daya terbarukan. Di Indonesia, proyek pertanian perkotaan digital yang didukung Dinas Lingkungan Hidup juga tumbuh pesat. Aplikasi sensor kelembapan tanah dan smart irrigation membantu warga kota berkontribusi dalam pengurangan emisi karbon melalui urban farming.
Menuju Smart Earth — Integrasi Antara Teknologi dan Kesadaran
Kota pintar hanya akan berhasil jika diimbangi dengan warga yang sadar lingkungan dan kebijakan publik yang berpihak pada keberlanjutan.
1. Kolaborasi Pemerintah, Teknologi, dan Masyarakat
Kunci utama keberhasilan smart city adalah kolaborasi. Pemerintah melalui Dinas Lingkungan Hidup mengatur kebijakan energi dan limbah, sektor teknologi menciptakan inovasi ramah lingkungan, sementara masyarakat menjadi pengguna bijak. Kolaborasi ini harus saling mendukung agar ekosistem kota tumbuh secara seimbang.
2. Langkah Kecil yang Bisa Dimulai dari Individu
Menjadi manusia cerdas tidak selalu berarti menggunakan teknologi tercanggih. Tindakan kecil seperti menghemat listrik, mengurangi plastik sekali pakai, dan menggunakan transportasi publik sudah menjadi bentuk kontribusi nyata. Program seperti Smart Waste Management dan Green Energy Community yang diluncurkan DLH bisa menjadi wadah partisipasi publik menuju smart earth yang sesungguhnya.
Cerdas Secara Teknologi Belum Tentu Cerdas Secara Ekologis
Menjadi kota pintar bukan hanya tentang data dan efisiensi, melainkan kesadaran kolektif dalam menjaga bumi. Teknologi memang membantu, tapi tanpa perubahan perilaku, semua kemajuan akan sia-sia. Dinas Lingkungan Hidup memiliki peran penting dalam memastikan kebijakan, inovasi, dan tindakan masyarakat berjalan dalam harmoni ekologis. Saat individu mulai berpikir kritis terhadap dampak digitalnya, bumi akan benar-benar dikelola dengan cerdas.






Tinggalkan komentar