Tanah adalah salah satu aset paling bernilai yang bisa dimiliki siapa pun. Namun, legalitas tanah masih menjadi persoalan serius di Indonesia. Berdasarkan data dari Kementerian ATR/BPN, hingga akhir 2023 terdapat lebih dari 20 juta bidang tanah di Indonesia yang belum bersertifikat (Sumber: pastibpn.id). Hal ini membuka celah besar terjadinya sengketa, penipuan, hingga kehilangan hak atas tanah secara sepihak. Dalam konteks investasi dan perlindungan hukum, keberadaan sertifikat tanah menjadi krusial. Artikel ini akan membahas lima risiko utama dari kepemilikan tanah tak bersertifikat, dilengkapi dengan cara konkret untuk menghindarinya.

1. Rentan Terjadi Sengketa Lahan
Salah satu risiko terbesar memiliki tanah tanpa sertifikat adalah tingginya potensi sengketa lahan. Tanah yang tidak terdaftar resmi di Badan Pertanahan Nasional tidak memiliki bukti autentik atas nama pemilik. Dalam praktiknya, banyak kasus di mana beberapa pihak mengklaim lahan yang sama karena tidak ada dokumen hukum yang menjadi acuan utama.
Menurut laporan Justika, sengketa tanah biasanya terjadi karena:
- Tanah warisan yang dibagi secara lisan tanpa bukti dokumen.
- Tanah girik atau Letter C yang masih tercatat atas nama pemilik terdahulu.
- Penyerobotan tanah oleh pihak yang memiliki kuasa modal atau koneksi.
Cara Menghindari:
- Periksa riwayat tanah melalui layanan BPN atau aplikasi Sentuh Tanahku.
- Simpan dokumen penguat seperti AJB, SPPT PBB, girik, atau Letter C dan lakukan validasi legalitasnya.
- Daftarkan tanah melalui program PTSL yang diselenggarakan pemerintah secara gratis atau berbiaya ringan.
2. Tidak Bisa Dijadikan Jaminan Pinjaman
Tanah yang tidak memiliki sertifikat tidak memenuhi syarat sebagai agunan yang diakui oleh lembaga pembiayaan. Ini berarti Anda kehilangan potensi pendanaan yang dapat menunjang kegiatan ekonomi, usaha, atau kebutuhan darurat.
Bank dan lembaga keuangan lainnya mensyaratkan bahwa tanah yang dijaminkan harus memiliki:
- Sertifikat Hak Milik (SHM) atau Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB).
- Nama pemilik pada sertifikat sama dengan nama debitur.
- Bebas dari sengketa atau catatan negatif di BPN.
Cara Menghindari:
- Lengkapi proses balik nama dan sertifikasi secepat mungkin setelah membeli tanah.
- Pastikan tanah tidak berada dalam status kuasa atau warisan yang belum terbagi.
- Lakukan proses verifikasi zonasi dan legalitas sebelum mengajukan pinjaman dengan jaminan tanah.
3. Tidak Diakui Secara Hukum
Dalam konteks hukum agraria, kekuatan pembuktian tertinggi atas kepemilikan tanah adalah sertifikat yang diterbitkan BPN. Surat girik, petok D, atau Letter C hanya dianggap sebagai bukti penguasaan fisik, bukan kepemilikan hukum.
Menurut heylaw.id, ketika seseorang menghadapi gugatan atau klaim sepihak atas tanah yang belum bersertifikat, pembelaannya akan lemah karena tidak memiliki dasar hukum tertulis yang diakui negara. Ini sangat berbahaya jika Anda bersinggungan dengan mafia tanah atau pemilik modal yang lihai memanfaatkan celah hukum.
Cara Menghindari:
- Gunakan jasa notaris dan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) resmi untuk seluruh proses transaksi.
- Hindari membeli tanah hanya berdasarkan kuitansi atau surat pernyataan.
- Lakukan validasi keabsahan tanah ke kantor BPN sebelum melakukan pembayaran atau pembangunan.
4. Sulit Diperjualbelikan Secara Legal
Tanah yang belum memiliki sertifikat akan menyulitkan proses jual beli secara legal. Hal ini karena PPAT tidak dapat membuat Akta Jual Beli tanpa sertifikat resmi. Dalam banyak kasus, proses transaksi hanya dilakukan secara bawah tangan dengan risiko tinggi.
Pembeli yang memahami prosedur legal akan menghindari tanah tak bersertifikat karena:
- Sulit mengurus balik nama dan pengesahan dokumen.
- Rentan terhadap klaim pihak ketiga di kemudian hari.
- Nilai jualnya jauh lebih rendah dari harga pasaran.
Cara Menghindari:
- Urus sertifikat tanah melalui kantor pertanahan setempat dengan membawa dokumen pendukung.
- Jika Anda pembeli, minta penjual untuk menyelesaikan sertifikat terlebih dahulu sebelum melakukan transaksi.
- Pastikan seluruh proses dilakukan di bawah pengawasan notaris atau PPAT resmi.
5. Menghambat Rencana Pembangunan
Tanah yang tidak terdaftar dalam data pertanahan tidak memiliki kejelasan zonasi dan peruntukan tata ruang. Ini membuat Anda kesulitan mengajukan izin pembangunan seperti Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Sertifikat Laik Fungsi (SLF), atau perizinan usaha lain yang berbasis properti.
Dalam beberapa kasus, pembangunan di atas tanah tak bersertifikat bisa dianggap ilegal dan dibongkar oleh pihak berwenang. Risiko ini meningkat jika tanah ternyata berada dalam zona hijau, daerah milik negara, atau wilayah yang direncanakan untuk proyek strategis nasional.
Cara Menghindari:
- Cek Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) ke dinas terkait.
- Lakukan pengecekan zonasi tanah secara online melalui geoportal daerah.
- Urus legalitas sebelum membangun agar seluruh aktivitas konstruksi memiliki dasar hukum yang kuat.
Tanah tak bersertifikat tidak hanya mengurangi nilai aset yang Anda miliki, tetapi juga bisa menjadi sumber konflik, kehilangan aset, bahkan kerugian ekonomi dalam jangka panjang. Sertifikat bukan hanya formalitas, melainkan jaminan kepastian hukum yang sangat penting. Jika Anda saat ini memiliki tanah tanpa sertifikat, segera ambil langkah proaktif untuk mengurus legalitasnya.
Gunakan program pemerintah seperti PTSL dan jangan ragu berkonsultasi ke BPN atau notaris terdekat. Jangan pernah melakukan transaksi tanah tanpa kejelasan dokumen hukum, karena harga murah hari ini bisa menjadi bencana hukum di masa depan.
Tinggalkan komentar